Tuesday, November 29, 2022

Rumah Tangga Milik Siapa? Sepenggal Kisah Kolaborasi Suami Istri di Dapur

 

 


Pagi itu, sebelum suami berangkat kerja saya memasak sayur sop di dapur. Entah ini hari ke berapa saya resign dari kerja kantoran dan beralih profesi menjadi ibu rumah tangga tanpa bantuan orang tua maupun Asisten Rumah Tangga (ART). Pagi yang sibuk di dapur menyiapkan bahan masakan dan mengeksekusi masakan sendiri lalu saya berhenti melanjutkan memasak karena tangisan anak saya yang berusia 4 bulan. Pagi itu rasanya emosi sekali karena harus mulai mengerjakan kerjaan rumah yang tiada habisnya dengan bayi yang masih menyusui setiap 2 jam sekali. Kemudian suami saya yang iba melihat saya mulai mencoba membantu memasak di dapur menggantikan saya. Dengan semangatnya ingin membantu istrinya namun bagaimana bisa telur puyuh beserta cangkang kulitnya masuk di sayur sop? Mungkin hari ini kisah itu jadi bahan lelucon bagi kami tapi saat itu saya sangat kesal dengan suami padahal setelah saya berfikir lebih lama dia hanya berusaha membantu saya memasak di dapur. Belum lagi rasanya yang tidak karuan membuat saya semakin geram. Sejak saat itu suami saya agak urung untuk membantu urusan rumah tangga karena merasa disalahkan dan serba salah. Ini sangat berdampak kepada saya. Saya harus mengerjakan kerjaan rumah sendirian tanpa ART bukan lah hal yang mudah jika tidak ada campur tangan bantuan dari suami.

Kami berkomunikasi dan terus berkomunikasi bagaimana solusi pembagian kerja dalam rumah tangga. Suami saya paham bahwa mengurus rumah tangga tanpa ART ditambah memiliki bayi yang belum bisa ditinggal terlalu lama sangat melelahkan bagi saya. Selain itu, emosi saya yang belum stabil karena masih harus beradaptasi dengan suasana dan peran baru. Saya sangat bersyukur memiliki suami yang sangat bertanggung jawab dengan perannya. Meskipun saat terjadi konflik kami merasa ingin sekali enggan berbicara satu sama lain namun kami paham bahwa kunci harmonisnya rumah tangga ada pada komunikasi kami berdua. Sebenarnya suami saya sudah menyiapkan kemampuan untuk membantu urusan rumah bahkan dia pernah iseng ikut lomba memasak di Instagram dengan motivasi bisa memasak untuk anak istrinya. Saya beruntung sekali karena tidak semua lelaki memiliki pemikiran seperti suami saya. Suami saya paham bahwa pekerjaan rumah bukanlah tanggung jawab istri saya namun tanggung jawab bersama.

Belajar dari beberapa kesalahan tersebut. Kami memahami bahwa memasak adalah keahlian yang sangat dasar yang harus dimiliki semua orang termasuk suami saya. Untuk meminimalisir beberapa keributan saat memasak di pagi hari, saya selalu memulai dengan mendiskusikan menu yang akan dimasak dan bagaimana cara memasakanya. Dengan cara tersebut suami saya bisa mengambil alih masak memasak ketika bayi kami menangis untuk menyusui. Beberapa bulan pertama terasa sulit masih banyak ketidaksempurnaan yang berdampak pada rasa makanan namun semakin kesini semakin terasa sempurna. Bahkan suami saya sudah bisa memasak hanya dengan meilhat menu di cookpad saja. Hal tersebut sangat membantu saya dan tentunya keluarga dalam menghemat pengeluaran. Menurut saya kelemahan lelaki dalam memasak ada pada penakaran. Lelaki melihat takaran secara logis sebagai suatu yang harus sempurna. Mereka terpatok pada takaran yang harus sama persis dengan resep padahal belum tentu resep tersebut menghasilkan masakan yang sesuai dengan lidah kita. Berbeda dengan Wanita yang lebih mengandalkan perasaan meski sudah ada takaran di resep tetap akan mengutamakan rasa.

Stigma masyarakat perihal memasak masih lekat dengan peran Wanita saja padahal memasak adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki semua orang. Saya merasa sangat terbantu memiliki pasangan yang dapat memasak didapur. Berikut opini saya mengenai beberapa manfaat memasak bersama suami, yaitu :

1.    Punya Ruang Kreasi untuk Menciptakan Menu Baru

Saya mulai senang berkreasi masakan dari rasa dan bentuk. Dengan banyaknya waktu diskusi di dapur kami dapat menciptakan menu menu sederhana, mudah namun tetap enak. Hal tersebut meningkatkan keintiman hubungan dengan suami saya. 

 2.    Jadi Partner Urusan Dapur

Stigma masyarakat bahwa "ibu tidak boleh sakit" menyampaikan pesan bahwa semua pekerjaan rumah tangga tidak dapat berjalan jika seorang ibu sakit. Bahkan urusan makan pun akan terhambat. Selama saya berumah tangga saya merasa tenang jika sakit karena suami bisa mengerjakan urusan rumah tangga termasuk masak di dapur. Ketika saya sakit suami masih bisa menyiapkan makanan untuk kami sekeluarga sehingga saya dapat beristirahat lebih nyaman.

3.    Semakin Mengenal Suami

Momen memasak di dapur menciptakan nuansa baru yang belum pernah kita temui sebelum menikah. Momen ini menjadi waktu untuk kami banyak bertukar pikiran baik perihal makanan sesuai selera masing masing bahkan momen masa kecil kami. Banyak cerita yang terlontar saat kami memasak bersama. Semenjak menikah waktu berdua tanpa anak menjadi momen yang berharga bagi kami.

4.    Sebagai Simbol Keharmonisan atau Teladan bagi Anak

pexels.com/family kitchen

Anak kami yang sudah beranjak balita senang turut serta berperan dalam kegiatan masak meski hanya sekedar mengupas kulit telur atau memetik daun daunan untuk di masak. Kami secara tidak langsung mengajarkan anak kami bahwa kita semua butuh makanan di meja
dan kita harus bekerja sama untuk menghadirkan makanan di meja. Kami mengajarkan bahwa makanan di meja menempuh proses yang harus kita hargai dan syukuri di setiap butirannya.

Sekian berbagi kisah saya. Semoga bermanfaat.


No comments:

Post a Comment

 Ramuan Herbal Demam Anak. Lebih Ampuh dari Parasetamol ?

dokumentasi pribadi Awal November 2022 gempar beredar informasi mengenai penyakit Gagal Ginjal Akut pada Anak (GGAPA). Informasi yang dipapa...